Sabtu, 26 April 2014
Berbekal
info dari blog, saya dan seorang teman menelusuri jalan Sukarno-Hatta mencari
lokasi museum Mpu Purwa. Agak memalukan sebenarnya – untuk mengakui bahwa kami
tak mengetahui di mana persisnya lokasi museum – mengingat jalan Sukarno-Hatta
sebenarnya amat dekat dengan kampus kami, yaitu Universitas Brawijaya (UB). Tak
kami sangka, ternyata info dari blog tersebut amat menyesatkan. Blog tersebut
menyatakan – dengan menyertakan peta – bahwa museum terletak di seberang rumah
sakit Permata Bunda (PB). Kami menyadari hal ini setelah jauh berjalan
menyusuri jalan yang dimaksud dan ternyata tak nampak tanda-tanda museum sama
sekali. Parahnya, kami baru ingat ada seorang teman yang bertempat tinggal di
jalan Sukarno-Hatta yang mungkin bisa membantu kami. Dan setelah mendapat
informasi yang lebih akurat, olala... jalan masuk yang benar ternyata sudah
jauh kami lampaui dan sama sekali tidak dekat dengan PB.. Kami pun berbalik
arah.
Lokasi
yang benar adalah jika kita berjalan lurus dari arah UB, maka jalan masuk ke
museum berada di sebelah kiri dengan gerbang yang mengandung tulisan SMPN 18.
Yup, benar sekali. Jalan masuk museum sama dengan jalan masuk ke SMP tersebut.
Museum terletak tepat di belakang rumah sakit UB yang masih dalam proses
pembangunan.
Setelah
sampai di museum, kami baru tahu bahwa waktu berkunjung ke museum adalah hari
Senin sampai Jumat, pukul 08.00 – 15.00 WIB. Berhubung kami berkunjung di hari
Sabtu, maka museum sedang tutup. Beruntung, penjaga museum yang bertempat tinggal
satu kompleks dengan museum berbaik hati mau membukakan pintu.
Halaman
museum membentang luas dan hijau, indah serta tertata rapi. Beberapa pohon maja
juga nampak tumbuh lebat di sana. Memasuki halaman, akan terlihat patung Budha
yang amat besar dan diapit oleh dua singa.
Museum ini diresmikan
oleh Wali Kota Malang Peni Suparto pada tahun 2004 sebagai tempat penyimpanan
benda-benda bersejarah. Nama Mpu Purwa sendiri diambil dari pendeta Hindu Jawa
yang juga ayah dari Ken Dedes, seorang wanita yang kelak menurunkan raja-raja
besar di jaman Singasari dan Majapahit. Dengan demikian, tak heran bila ketika
memasuki bangunan utama museum, kita akan disambut oleh replika arca Ken Dedes
atau Pradnaparamitha.
Museum ini tidak
terlalu luas, tapi koleksi yang ada di dalamnya bernilai sejarah sangat tinggi.
Koleksi tersebut sebagian besar merupakan arca dewa pada kebudayaan
Hindu-Buddha di Indonesia yang berhasil dikumpulkan dari berbagai wilayah di
Kota Malang dan sekitarnya. Ada pula prasasti-prasasti yang berhuruf Pallawa
dan beberapa asesoris candi serta beberapa benda yang berasal dari masa
kerajaan Hindu-Buddha.
Arca-arca ditata amat
rapi dengan keterangan lengkap yang dapat menambah banyak informasi bagi kita. Sayangnya,
banyak arca yang sudah tidak lagi utuh. Dinding dihiasi dengan beberapa foto
bangunan di Kota Malang yang dianggap memiliki nilai sejarah. Dari keterangan
yang kami dapat di sana, dapat kami ketahui bahwa beberapa bangunan di Kota
Malang, seperti Masji Agung Jami’, Gereja Alun-alun dan Gereja Kayutangan
ternyata sudah berusia ratusan tahun. Sayangnya, tidak ditunjukkan foto asli
dari jaman dulu, sehingga pengunjung tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan
bangunan-bangunan tersebut pada masa lampau.
Salah satu hal yang
kami anggap menarik adalah banyaknya arca Ganesya yang berada di museum ini.
Mulai dari yang berukuran kecil hingga yang berukuran besar. Uniknya adalah,
bagian yang hilang dari arca tersebut sebagian besar adalah bagian belalai. Hal
ini mengusik pikiran kami, adakah azimat khusus yang mengirinya, sehingga
banyak orang yang memburunya?
Di salah satu bagian
dinding terdapat naskah Sumpah Palapa yang diucapkan Patih Gajah Mada yang
berisi tekad untuk menyatukan nusantara. Selain itu, ada juga keterangan yang
menjelaskan perkembangan abjad dari huruf Pallawa yang banyak berkembang
sehingga menghasilkan abjad huruf Jawa yang kita kenal dengan hanacaraka hingga
abjad Bali.
Dari museum ini, kami banyak belajar, terutama tentang
sejarah bangsa Indonesia di jaman kerajaan Hindu-Buddha. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang tinggi
budaya dan religiusitasnya, sehingga mampu menghasilkan benda-benda yang tinggi
nilai seni sekaligus nilai keagamaannya. Jadi, benar-benar tak ada salahnya
menjadikan museum ini sebagai destinasi wisata edukasi, apalagi tidak ada tarif
masuk yang dibebankan alias gratis, jadi dijamin tidak
akan menguras kantong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar